Para pembaca yang dirahmati Allah, pada artikel sebelumnya telah kami bahas tentang Thaharah Pengertiannya dan Pembagiannya, bahwa thahara sendiri terbagi menjadi 2 bagian ; Thaharah Lahiriyyah dan Bathiniyyah. Adapun sekup pembahasa Tharahah dalam ranah fiqih membas tentang thaharah lahiriyyah yang mana thaharah lahiriyyah adalah menyucikan sesuatu yang lahir (dapat dlihat oleh mata) seperti menyucikan badan, pakaian, atau tempat dari segala kotoran dan najis, dan bersuci dari hadas besar maupun hadas kecil. Dan dalam artikel fiqih kali ini kami akan mencoba untuk menyajikan tentang alat untuk thaharah lahiriyyah, yang mana salah satunya adalah air.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya semua air yang turun dari langit dan keluar dari bumi adalah suci dan menyucikan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfiman ;
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۚ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dia-lah Yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira yang dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” [ Qs. Al-Furqaan: 48]
Dan sebagaimana yang telah datang dari sabda Nabi Shallallahu‘alaihi wa sallam tentang laut :
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Air laut itu suci dan menyucikan serta halal bangkainya.” ( Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (I/152 no. 83 )
Juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sumur :
إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Sesungguhnya air itu suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh sesuatu pun.”
Air tetap dalam kesuciannya sekalipun bercampur dengan sesuatu yang suci selama tidak keluar dari keasliannya (kemutlakn)nya. Maksudnya ; air tersebut masih dinamai air saja. Berbeda dengan air yang sudah dalam bentuk lain, seperti ; minuman seeperti kopi, teh, susu dan lainnya. Di mana air tersebut bercampur dengan zat-zat yang suci namun telah keluar dari kemutlakannya. Air semacam ini suci namun tidak mensucikan (tidak boleh dipakai untuk bersuci).
Dasarnya adalah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita yang memandikan jenazah puteri beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
اِغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِي اْلآخِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ.
“Mandikanlah ia tiga kali, lima kali atau lebih dengan air dan bidara jika menurut kalian perlu. Dan jadikanlah basuhan terakhir dengan kapur barus atau sedikit dengannya.” ( Muttafaq ‘alaihi )
Dan perlu sekiranya juga kita ketahui bahwa ; Tidaklah air itu dihukumi najis meskipun terdapat najis padanya kecuali jika ia berubah karenanya. Dasarnya adalah hadits Abu Sa’id. Dia mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam ditanya : “Wahai Rasulullah, bolehkah kami wudhu di sumur Budha‘ah?” Yaitu sumur yang di sana dibuang darah haidh, daging anjing, dan kotoran. Lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اَلْمَاءُ طَهُوْرٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Air itu suci dan menyucikan, tidak dinajiskan oleh suatu apa pun.” ( HR. Abu Daud dalam Sunannya )
Ath-Thayyibi berkata, ‘Makna perkataan Nabi shalallahu'alahi wa sallam ; ‘Yang dibuang di situ’ adalah ; sumur itu dulu dari aliran beberapa lembah yang kemungkinan didatangi penghuni padang pasir dan membawa kotoran yang ada di sekitar rumah mereka tadi. Banjir lantas membawa dan melemparkannya ke dalam sumur.
Mubarakfuri berkata : Penutur menceritakan dengan kata-kata yang mengesankan seolah yang membuang adalah manusia, karena minimnya agama mereka. Hal ini tidak dibenarkan oleh seorang muslim pun, maka bagaimana mungkin dilakukan oleh umat dari kurun terbaik dan paling utama.
Lalu Mubarakfuri melanjutkan : “Beberapa orang dari kalangan ahlul ilmi juga berpendapat demikian. Pendapat inilah yang tampak kebenarannya.” ( Dalam Tuhfatul Ahwadzi I/204 )
Demikianlah pembahasan singkat yang dapat kami sajikan kepada para pembaca , semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang salah satu cabang ilmu syar'i yakni fiqih.
Wallahu a'lam bish-shawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar