Minggu, 01 April 2018

ADAB BERTANYA DALAM MAJLIS ILMU

Rasulullah Shallallahu‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلَا سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالُ

“Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu? Sesungguhnya obat ketidak mengertian adalah bertanya." ( Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud )

Dan berkata Al Khathib Al Baghdadi rahimahullah : ”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.” ( Al Faqih Wa Mutafaqqih: 1/143 )

Oleh karenanya meskipun bertanya adalah sebuah obat kebodohan maka perlu sekiranya mengulas tentang Adab-adab dalam bertanya. Dikarenakan banyak dikalangan Kaum Muslimin belum memahami akan hal tersebut. Berikut beberapa Adab bertanya yang perlu kita ketahui :

1) Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.

Sebagaimana Allah berfirman :

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” ( QS An Nahl : 43 )

Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyebutkan syarat dalam mengajukan pertanyaan adalah karena tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Namun demikian seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, dengan tujuan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril 'alaihissalam kepada Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits Jibril yang masyhur.

2) Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.

Hal ini dinyatakan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya :

وَكَيْفَ تَكْفُرُونَ وَأَنْتُمْ تُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ آيَاتُ اللَّهِ وَفِيكُمْ رَسُولُهُ ۗ وَمَنْ يَعْتَصِمْ بِاللَّهِ فَقَدْ هُدِيَ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” ( QS. Al Maidah : 101 )

Dan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam juga bersabda :

إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ.

"Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan, lalu diharamkan karena pertanyaannya." ( Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad )

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi.

Rabi’ bin Khaitsam rahimahullah berkata :

“Wahai Abdullah, apa yang Allah berikan kepadamu dalam kitabnya (ilmu) maka syukurilah, dan yang Allah tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada.

Karena Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya :

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ, إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ, وَلَتَعْلَمُنَّ نَبَأَهُ بَعْدَ حِينٍ.

Katakanlah (hai Muhammad) : ”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku; dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan. Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita Al Qur’an setelah beberapa waktu lagi”. ( QS Shad : 86-88 / Lihat Jami’ Bayanil ‘ilmi Wa Fadhlihi : 2/136)

3) Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.

Hal ini disebagaimana yang dikatakan oleh Al Khathib Al Baghdadi, beliau rahimahullah berkata : “Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”. ( Al Faqih Wal Mutafaqqih 2/148 )

4) Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas.

Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu, beliau berkata :

صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَلَمْ يَزَلْ قَائِمًا حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ ، قُلْنَا: وَمَا هَمَمْتَ؟ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أَقْعُدَ وَأَذَرَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Saya shalat bersama Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam, lalu beliau memanjangkan shalatnya sampai saya berniat satu kejelekan. Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud : “Apa yang engkau niatkan?” Beliau menjawab : “Saya ingin duduk dan meninggalkannya”. ( Riwayat Bukhari dan Muslim )

5) Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

6) Tidak mengadu domba di antara ahli ilmu seperti mengatakan : Tapi ustadz fulan (dengan menyebut namanya) mengatakan demikian. Maka yang demikian termasuk kurang beradab. Kalau memang harus bertanya, maka hendaklah mengatakan : "Apa pendapatmu tentang ucapan ini?" Tanpa menyebut nama orang yang mengucapkan.... ( Lihat Hilyah Thalibil Ilmi, Syaikh Bakr Abu Zaid )

Demikianlah beberapa adab dalam bertanya yang perlu kita ketahui. Semoga Allah senantiasa memberikan kita Taufiq dan memudahkan semua urusan kita dalam menuntut ilmu.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

Jumat, 16 Februari 2018

Hukum Menjual Tanah Wakaf

# Pertanyaan #
Bolehkah menjual tanah wakaf yang tidak memungkinkan dibangun masjid apalagi pesantren? Mohon solusinya?

# Jawaban #
Pada prinsipnya, wakaf tidak boleh dijual. Dan tidak juga dijumpai adanya perbedaan ulama bahwa barang wakaf tidak boleh dijual. Selain riwayat  dari Abu Hanifah, meskipun tidak disetujui murid-muridnya selain Zufar bin Hudzail.

At-Thahawi menceritakan bahwa Abu Yusuf – murid Abu Hanifah – membolehkan menjual wakaf. Kemudian beliau mendengar hadits tentang Saran Nabi shallallahu‘alaihi wa sallam kepada Umar, beliau shallallahu‘alaihi bersabda :

تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ ، لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ ، وَلَكِنْ يُنْفَقُ ثَمَرُهُ

Sedekahkan tanah itu, namun tidak boleh dijual, dihibahkan, diwariskan. Akan tetapi dimanfaatkan hasilnya. ( HR. Bukhari 2764 )

Lalu beliau -  Abu Yusuf  - menyatakan ;

هذا لا يسع أحدا خلافه ولو بلغ أبا حنيفة لقال به فرجع عن بيع الوقف حتى صار كأنه لا خلاف فيه بين أحد

“Tidak boleh ada seorangpun yang tidak mengikuti hadis ini. Andai Abu Hanifah mendengar hadis ini, niscaya beliau akan berpendapat sesuai hadis ini, sehingga menarik kembali pendapat bolehnya menjual wakaf. Jadilah seolah tidak ada perbedaan antar siapapun.” ( Fathul Bari, 5/403 )

Namun bagaimana jika wakaf itu tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan, inilah yang menjadi perhatian besar ulama dalam masalah wakaf. Karena ketika kita melihat definisi wakaf menurut istilah, wakaf didefinisikan dengan :

حبس الاصل وتسبيل الثمرة. أي حبس المال وصرف منافعه في سبيل الله

Upaya mempertahankan fisik harta dan menjadikan hasilnya fi sabilillah. Artinya, menjaga keutuhan harta yang diwakafkan dan mengambil manfaatnya untuk di jalan Allah. ( Fiqhus Sunah, Sayid Sabiq, 3/515 )

Oleh karenanya ada penjelasan yang cukup rinci, yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa, terdapat beberapa keadaan objek wakaf yang tidak bisa dimanfaatkan ;

[1] Objek wakaf yang sama sekali tidak bisa diselamatkan. Seperti wakaf binatang lalu binatang itu mati.

[2] Objek wakaf sudah rusak namun masih tersisa beberapa bagian yang memungkinkan untuk diuangkan. Seperti pohon yang tidak berbuah, atau masjid yang bangunannya sudah roboh. Benda semacam ini dijual untuk dibelikan objek yang semisal.

[3] Barang yang terancam rusak dan jika tidak  dijual akan hilang nilainya. Barang semacam ini boleh dijual untuk dimanfaatkan hasilnya. Misal, tikar masjid yang tidak dipakai, dan mulai rusak. Jika dibiarkan saja akan semakin rusak dan tidak ada nilai manfaat dan nilai jual-nya.

[4] Objek wakaf tidak berfungsi di masjid A, namun bisa berfungsi di masjid B. Maka objek wakaf ini dipindah agar bisa dimanfaatkan.

[5] Jika masjidnya tidak cukup menampung jamaahnya, atau tidak layak untuk dimanfaatkan, maka boleh dijual dan hasilya digunakan untuk membangun masjid yang lain. ( Majmu’ Fatawa, 31/226 )

Demikianlah padangan penulis, dalam masalah wakaf. Apakah boleh dijual, yang mana hasilnya bisa di manfaatkan untuk wakaf yang lain. Sekitarnya wakaf tersebut bisa lebih bermanfaat untuk wakaf yang lain, maka diperbolehkan untuk dijual karena tujuan besar dari wakaf adalah tasbil al-Manfaah, bagaimana menggunakan manfaat benda untuk di jalan Allah.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

Jumat, 09 Februari 2018

WakafTanah Untuk Pembangunan Rumah Qur'an al-Kautsar

Sungguh betapa besar dan manfaatnya bagi Kaum Muslimin ketika muncul orang-orang yang mewakafkan hartanya untuk mendirikan pondok pesantren atau tempat pendidikan yang mengajarkan hafalan al-Qur’an kepada anak-anak kaum muslimin, ilmu tajwid, dan mempelajari kandungannya. Begitu pula ketika orang-orang mewakafkan hartanya untuk operasional belajar-mengajar di pondok-pondok pesantren dan membantu memenuhi kebutuhan para pengajar. Tidak mustahil, nantinya akan bermunculan ma’had-ma’had yang tidak lagi memungut biaya bagi yang belajar di sana.

Oleh karena itu, kita dapatkan para sahabat adalah orang-orang yang sangat bersemangat mewakafkan hartanya. Kita bisa melihat bagaimana sahabat Umar bin al-Khaththab, Beliau memiliki tanah yang sangat bernilai bagi beliau karena hasil dan manfaatnya yang begitu besar. Namun, beliau menginginkan harta itu untuk akhiratnya.

Beliau menghadap Nabi Shallallaahu‘alaihi Wasallam untuk meminta petunjuk tentang hal tersebut. Nabi Shallallaahu‘alaihi Wasallam menyarankan agar Umar menyedekahkannya. Sedekah tanpa dijual, ditukar, atau dipindah, yaitu dengan memanfaatkan tanah tersebut dan hasilnya disedekahkan untuk fakir miskin dan yang lainnya, sedangkan tanahnya ditahan. Tanah itu tidak bisa diambil lagi oleh pemiliknya, tidak boleh dibagikan untuk ahli warisnya, serta tidak boleh dijual dan dihibahkan.

Termasuk wakaf yang dilakukan oleh para sahabat adalah apa yang disebutkan oleh sahabat Utsman bin ‘Affan. Ketika Nabi Shallallaahu ‘alaihi Wasallam datang di kota Madinah dan tidak menjumpai air yang enak rasanya selain air sumur yang dinamai Rumah, beliau Shallallaahu ‘alaihi Wasallam bersabda :

مَنْ يَشْتَرِي بِئْرَ رُومَةَ فَيَجْعَلَ دَلْوَهُ مَعَ دِلَاءِ الْمُسْلِمِينَ بِخَيْرٍ لَهُ مِنْهَا فِي الْجَنَّةِ. فَاشْتَرَيْتُهَا مِنْ صُلْبِ مَالِي

“Tidaklah orang yang mau membeli sumur Rumah kemudian dia menjadikan embernya bersama ember kaum muslimin (yaitu menjadikannya sebagai wakaf dan dia tetap bisa mengambil air darinya) itu akan mendapat balasan lebih baik dari sumber tersebut di surga.” Utsman mengatakan, “Aku pun membelinya dari harta pribadiku.” ( HR. at-Tirmidzi )

Bahkan, sahabat Jabir Radhiallaahu‘anhu sebagaimana dinukilkan dalam kitab al-Mughni mengatakan ,

لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ذُوْ مَقْدَرَةٍ إِلاَّ وَقَفَ

“Tidak ada seorang pun di antara para sahabat Nabi yang memiliki kemampuan (untuk berwakaf) melainkan dia akan mengeluarkan hartanya untuk wakaf.”

Sebelumnya, tentu saja adalah panutan umat, Rasulullah Shallallaahu‘alaihi Wasallam. Beliau adalah suri teladan dalam seluruh kebaikan, termasuk wakaf. Sahabat ‘Amr ibn al-Harits mengatakan,

مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ عِنْدَ مَوْتِهِ دِرْهَمًا وَلاَ دِينَارًا وَلاَ عَبْدًا وَلاَ أَمَةً وَلاَ شَيْئًا إِلاَّ بَغْلَتَهُ الْبَيْضَاءَ وَسِلاَحَهُ وَأَرْضًا جَعَلَهَا صَدَقَةً

“Setelah Rasulullah Shallallaahu‘alaihi Wasallam wafat, beliau tidak meninggalkan dirham, dinar, dan budak lelaki atau perempuan. Beliau hanya meninggalkan seekor bighal (yang diberi nama) al-Baidha’, senjata, dan tanah yang telah beliau jadikan sebagai sedekah.” ( HR. al-Bukhari )

Oleh karenanya melihat dari manfaatnya bagi Kaum Muslimin, maka ganjaran yang Allah berikanpun kepada Para Pewakaf sesuatu yang besar yakni mengalirnya pahala yang terus menerus meskipun si Pewakaf telah tiada. Dan pada kesempatan ini kami selaku Pengelola Rumah Qur'an al-Kautsar mengajak Kepada Segenap Kaum Muslimin yang memiliki banyak harta, untuk sedikitnya menyisihkan untuk Pembebasan Lahan dalam Rangka Pembangunan Rumah Qur'an al-Kautsar.

# Donasi Yang Kami Butuhkan adalah sebesar Rp. 175.000.000,-

# Dan Donasi Yang Telah Terkumpul sampai saat ini sebesar Rp. 27.643.000,-

# Dan masih membutuhkan bantuan dana sebesar Rp. 147.357.000,-

Donasi Dapat disalurkan melalui Rekening WakafTanah :

Bank Central Asia ( BCA )
No. Rekening : 06-700-29-123
A/N SUGENG MULIADIN

Atau bisa langsung datang ke Kantor Sekertariat : Jln. Maruga 1 Perumahan Taman Fasko Blok C6 No.23 RT03/RW.12 Kec. Pamulang, Kota Tanggerang Selatan, Banten.

More Info :
0813-1756-0970 Ust. Lukman Abu Wardah
0852-9512-2008 Utsman Abdurrahman

Seberapapun kecil nilai yang bapak/ibu/saudara-I berikan, dijalan Allah ini, akan sangat bernilai bagi kami, Mari bergegaslah untuk ambil bagian, meraih emas yang melimpah berupa pahala jariyah, yang mengalir tiada henti walau kita telah tiada, sebelum terlambat dan peluang ini telah usai.

Semoga Allah senantiasa memberikan kita Taufiq dan memudahkan semua urusan kita.

Rabu, 07 Februari 2018

Sebab-Sebab Futur dalam Thalabul Ilmi

1) Pertama : Lemahnya semangat dan tekad untuk belajar.

Setiap kali bertambah belajarnya, semestinya bertambah pula semangatnya karena berarti ia telah mendapatkan tambahan ilmu. Dengan demikian ia pun gembira layaknya seorang pedagang yang bergembira ketika mendapatkan keuntungan, sehingga bertambahlah semangat si pedagang tadi untuk meraih nilai keuntungan yang lebih besar.

Demikian pula semestinya bagi penuntut ilmu, selama ia bersungguh-sungguh dan jujur dalam belajar, maka ketika mendapati suatu masalah (pelajaran), semakin bertambahlah keinginannya untuk mendapatkan ilmu.

Adapun orang yang tidaklah menuntut ilmu kecuali hanya untuk mengisi waktu saja, maka sangat rentan untuk tertimpa futur dan rasa malas.

2) Kedua : Syaithan senantiasa berusaha untuk menjadikan penuntut ilmu merasa putus asa.

Syaithan mengatakan, “Perjalanan (belajar) ini masih panjang, tidak mungkin engkau menguasai ilmu sebagaimana para ulama.” Sehingga yang seperti ini menjadikan penuntut ilmu malas dan meninggalkan belajarnya. Ini salah.

Salah seorang ahli tarikh menyebutkan tentang salah seorang imam dalam bidang nahwu. Ketika thalabul ilmi, beliau merasa kesulitan mempelajari ilmu nahwu, sehingga hampir saja beliau tinggalkan ilmu tersebut. Suatu ketika, ia melihat seekor semut naik di sebuah dinding dengan membawa makanan. Setiap kali semut itu berusaha naik, ia terjatuh. Terus menerus semut itu berusaha naik, namun terjatuh hingga terhitung sepuluh kali atau lebih semut itu berusaha naik, tetapi terus saja terjatuh. Akhirnya semut itu berhasil menaiki dinding setelah tentunya merasakan lelah dan rasa berat.

Al-Kisa’i pun mengatakan, “Semut ini telah berusaha dan merasakan beratnya apa yang ia lakukan sehingga berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya. Maka sungguh benar-benar aku akan berusaha dan berusaha.”

Maka Al-Kisa’i pun bersungguh-sungguh mempelajari ilmu nahwu, hingga meraih kedudukan sebagai imam dalam bidang tersebut.

3) Ketiga : Berteman dengan orang yang jelek.

Pertemanan itu memberikan pengaruh terhadap seseorang. Oleh karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendorong kita untuk berteman dengan orang-orang baik. Beliau mengabarkan bahwa teman yang shalih itu seperti penjual minyak wangi misk, yang mungkin engkau dihadiahi minyak tersebut, atau dijual kepadamu, atau setidaknya engkau akan mendapati aroma yang wangi. Sementara teman yang buruk itu seperti tukang tempa (pandai) besi, yang bisa jadi kalau engkau mendekatinya, bajumu akan terbakar, atau bisa jadi engkau akan mencium bau yang tidak sedap.

Masalah pertemanan ini memberikan pengaruh yang besar, sampai-sampai bisa mempengaruhi seseorang, tidak hanya pengaruh untuk meninggalkan thalabul ilmi saja, bahkan juga berpengaruh untuk meninggalkan amalan-amalan ibadah.

4) Keempat : Terlalaikan oleh sesuatu yang menipu dan banyak menyia-nyiakan waktu.

Sekali waktu seseorang pergi jalan-jalan, (tapi ketika sudah menjadi kebiasaan) sebagian orang justru tergoda dan kecanduan untuk melihat pertandingan sepak bola atau yang semisalnya.

5) Kelima : Seseorang tidak merasa bahwa ketika thalabul ilmi, ia seperti seorang mujahid di jalan Allah.

Ini adalah sesuatu yang tidak diragukan, karena thalabul ilmi merupakan upaya untuk menjaga syariat ini dan mengajarkannya kepada manusia.
Tujuan dari seorang mujahid adalah menghalangi pengaruh orang kafir terhadap agama Islam ini, namun seorang thalibul ilmi bisa memberikan manfaat kepada umat seluruhnya.

Benar bahwa terkadang kita katakan kepada seseorang : “Jihad lebih utama bagimu.” Karena memang ia lebih pantas untuk berjihad. Dan terkadang pula kita katakan kepada yang lainnya : “Thalabul ilmi lebih utama bagimu.” Namun yang aku maksudkan adalah bahwa thalabul ilmi itu sendiri lebih utama daripada jihad di jalan Allah.

Allah telah berfirman :

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” ( Qs. At-Taubah : 122 )

Artinya, antara Jihad dan Thalabul Ilmi adalah suatu kesatuan dalam bangunan menuju kejayaan islam, Mujahidin membela Islam dengan tangannya, dan seorang Alim membela islam dengan ilmunya.

Inilah sebab-sebab futur dalam thalabul ilmi yang bisa kami sebutkan. Engkau wahai penuntut ilmi wajib untuk memiliki semangat dan cita-cita yang tinggi, tunggu hasilnya di masa mendatang.

Sesungguhnya dengan keikhlasan niat Engkau kepada Allah, bisa jadi Engkau akan menjadi seorang imam dalam agama Islam ini.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Nasehat Alim teruntuk Para Orangtua

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan :

"Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya —belahan hatinya— di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya.

Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua." ( Tuhfatul Maudud hlm. 351 )

Beliau rahimahullah menyatakan pula :

"Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, 'Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut'." ( Tuhfatul Maudud hlm. 337 )

( Diambil dari Huququl Aulad 'alal Aba' wal Ummahat hlm. 8—9, karya asy-Syaikh Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari hafizhahullah )

Selasa, 06 Februari 2018

Laporan Donasi WakafTanah Rumah Qur'an al-Kautsar ( Selasa, 06 Februari 2018)

Ayo Bantu...!!! Masih butuh Dana Rp. 147.757.000,- untuk Pembebasan Lahan Tanah Wakaf Rumah Qur'an al-Kautsar.

Alhamdulillah atas izin Allah dan KaruniaNya Kami Pengurus Rumah Qur'an al-Kautsar melaporkan bahwa donasi telah terkumpul sebesar Rp. 27.243.000,- dengan rincian sebagai berikut :

📦 Total Donasi Yang Masuk Pertanggal
🗓 30 Januari sd 31 Januari 2018 : Rp. 11.950.000,-

📦 Total Donasi Yang Masuk Pertanggal
🗓 01 Februari sd 04 Februari 2018 : Rp. 5.690.000,-

🗓 Rincian Pemasukan Donasi Senin, 05 Februari 2018
* Hamba Allah : Rp. 100.000
* Bpk. Irwan : Rp. 1.003.000
* Bpk. Umar : Rp. 500.000
* Bpk. Adria Ananda : Rp. 100.000
* Ibu Yeni : Rp. 50.000
Total Masuk : Rp. 1.753.000,-

🗓 Rincian Pemasukan Donasi Selasa, 06 Februari 2018
* Hamba Allah : Rp. 7.000.000
* Hamba Allah : Rp. 100.000
* Ibu Maulina : Rp. 700.000
* Bp. Iswahyudi : Rp. 50.000
Total Masuk  : Rp. 7.850.00

Untuk itu kami mengajak kembali kepada kaum muslimin dalam menyisihkan Harta Terbaiknya dalam pembebasan lahan untuk pembangunan Rumah Qur'an al-Kautsar.

Karena dana yang kami butuhkan sebesar Rp. 175.000.000,- dan masih membutuhkan dana sebesar Rp. 147.757.000,- Seberapapun kecil nilai yang bapak/ibu/saudara-I berikan, dijalan Allah ini, akan sangat bernilai bagi kami.

Mari bergegaslah untuk ambil bagian, meraih emas yang melimpah berupa pahala jariyah, yang mengalir tiada henti walau kita telah tiada, sebelum terlambat dan peluang ini telah usai.

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda :

وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْهِ

“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. [ HR Muslim ]

🗳 REKENING DONASI

🏦 BANK CENTRAL ASIA ( BCA )
📟 Kode Bank : 014
💳 No. Rekening : 06-700-29-123
👤 A/N SUGENG MULIADIN

Apabila sudah melakukan transfer dimohon untuk memberikan konfirmasi ke NO 0852-9512-2008 dengan format "Konfirmasi Wakaf#Nama Pengirim#Nominal Donasi#

☎️ INFO LEBIH LANJUT

🏠 Kantor Sekertariat : Jln. Maruga 1 Perumahan Taman Fasko Blok C6 No.23 RT03/RW.12 Kec. Pamulang, Kota Tanggerang Selatan, Banten.

📱 Contact Person :
0813-1756-0970 ( Ust. Lukman Abu Wardah / Mudir RQ al-Kautsar )
0852-9512-2008 ( Utsman Abdurrahman / Bidang Pengembangan )

Semoga Allah senantiasa memberikan kita Taufiq dan memudahkan semua urusan kita.

Sabtu, 03 Februari 2018

UMMU ZUFAR AL-HABASYIYAH RADHYALLAHU ANHUMA ; IA MERAIH JANNAH DENGAN KESABARAN

Jannah atau surga, merupakan sebuah tempat yang sarat dengan kenikmatan. Jannah menjadi idaman setiap orang yang beriman. Kenikmatan di jannah tak pernah terbetik dalam hati manusia, belum pernah terdengar oleh telinga, dan pandangan mata pun tak pernah menikmatinya. Kenikmatannya tak terjangkau oleh indera manusia yang terbatas. Akan tetapi, keberadaannya merupakan haqqun (sebuah kebenaran). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang jannah:

فِيهَا مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ

Di dalamnya (jannah) terdapat sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik di hati manusia.

Selanjutnya, beliau membaca ayat:

تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ ﴿١٦﴾ فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [as-Sajdah/32: 16-17].

Dalam beberapa hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitahukan sejumlah penghuni surga dari kalangan sahabat, saat mereka masih hidup. Nas`alullah min fadhlihi wa karamihi. Di antara sahabat yang memperoleh kebahagiaan itu ialah Ummu Zufar al-Habasyiyyah. Dahulu, Ummu Zufar sebagai maasyithah (tukang sisir rambut) Khadîjah Radhiyallahu anha. Sepeninggal istri Nabi ini, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam acapkali mengunjungi wanita itu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan usia panjang bagi sahabat wanita ini. Bisa dibuktikan dari seorang Tabi’în, yaitu ‘Athaa` bin Abii Rabaah t yang sempat menjumpai calon penghuni syurga ini berjalan di atas bumi. Tepatnya di Masjidil-Harâm, yaitu saat Ummu Zufar berada di tangga Ka’bah.

Berdasarkan keterangan hadits, ketika berada di Masjidil-Harâm, Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menawarkan sesuatu kepada ‘Athâ` bin Abi Rabâh.

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma bertanya, “Maukah engkau aku perlihatkan seorang wanita yang termasuk penghuni surga?”

‘Athâ` menjawab,”Iya, mau.”

Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma menceritakan:

Wanita yang berkulit hitam ini, dulu mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari berkata,

إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي

“Aku terkena penyakit gila (ayan). Aku khawatir auratku tersingkap karenanya. Tolong berdoalah untuk kebaikanku.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (kala itu) menjawab:

إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ

“Kalau engkau mau, bersabarlah saja (dengan penyakit itu), maka engkau akan memperoleh surga. Kalau tidak, aku akan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya menyembuhkanmu”.

Ia menyahut:

أَصْبِرُ فَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ

“Saya mau bersabar saja. (Tetapi) aku khawatir auratku terlihat (oleh manusia). Karena itu, berdoalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala supaya auratku tidak tersingkap,” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk memenuhi permintaan yang ia perlukann itu. [HR al-Bukhâri, hadits no.5652. Lihat Fat-hul-Bâri, 13/23].

Demikian, salah satu bentuk kesabaran seorang sahabat, sehingga membuahkan surga. Dan dari kisah Ummu Zufar al-Habasyiyyah ini, dapat diambil beberapa pelajaran. [Fat-hul-Bâri (13/25].

1. Keutamaan seseorang yang terkena penyakit gila (ayan), bila ia bersabar.

2. Kesabaran menghadapi musibah dan malapetaka di dunia dapat mendatangkan jannah.

3. Mengambil keputusan yang berat lebih afdhal (utama) daripada memilih rukhsh
bagi seorang yang mengetahui dirinya mampu untuk melakukannya dan tidak lemah (malas).

4. Hadits atau riwayat ini juga mengandung dasar (dalil) diperbolehkan tidak berobat bagi seseorang yang sakit.

5. Pengobatan sesuatu penyakit dengan doa dan iltijâ`-ilallah (bersimpuh’ di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala ) lebih mujarab dan bermanfaat, dibandingkan dengan pengobatan secara medis. Pengaruh dan reaksinya terhadap ketahanan tubuh lebih kuat daripada obat-obat konvensional.
Tetapi, therapi doa dan iltijâ`-ilallah itu akan bisa berdaya-guna jika dengan dua syarat. Pertama, syarat dari sisi penderita, yaitu ia harus shidqul-qashdi (memiliki kebersihan dan keyakinan hati). Kedua, dari sisi therapis, yaitu kekuatan tawajjuh dan keteguhan hatinya dengan takwa dan tawakkal. Wallahu a’lam.

Kisah ini juga berisi seruan untuk para wanita yang senang memperlihatkan aurat dan menyingkap pesona fisiknya di hadapan kaum lelaki, agar bercermin dengan keteguhan dan kesabaran Ummu Zufar al-Habasyiyyah. Meskipun dalam keadaan yang sangat mungkin ia tak sadar karena penyakitnya, namun ia berharap auratnya tetap terjaga. Sedangkan para wanita senang tabarruj itu berbuat sebaliknya, padahal Allah telah memberinya anugerah keselamatan jasmani dan kesehatan tubuh. Kisah ini mengajak kaum wanita pada umumnya untuk bertaubat kepada Allah al-Ghafûrur- Rahîm al-‘Azîzu Dzun tiqâm.

Marâji`:
1. Durûs min Hayâtish-Shahâbiyyât, Dr. ‘Abdul-Hamîd bin ‘Abdir-Rahmân as-Suhaibâni, Madârul-Wathan, Cetakan I, Tahun 1424 H, halaman 79-82.
2. Fat-hul-Bâri bi Syarhi Shahîhil-Bukhâri, al-Hâfizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajr al-‘Asqalani (774-852 H), Ta’lîq: Syaikh ‘Abdur-Rahmân bin Nâshir al-Barrâk, Dar Thaibah, Cetakan I, Tahun 1426H/2005M.